Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

iklan

Iklan

Indeks Berita

Perkuat Gotong-Royong “Lintas Anak Bangsa” untuk Aktivitas Sosial

Minggu, 08 Oktober 2023 | 16:56 WIB Last Updated 2023-10-08T09:57:33Z


RealitaNews.co.id_JAKARTA – Gotong-royong sudah tertanam dalam jiwa secara spiritualitas bagi bangsa Indonesia, sehingga dapat disebut merupakan kultur bangsa. Untuk itu, ketika bermunculan aktivitas sosial secara lintas kebangsaan, semua pihak patut konkret memperkuat pelembagaannya.


Ketua Umum Yayasan Universitas 17 Agustus 1945, Drs. Bambang Sulistomo, M.Si menegaskan hal itu, Sabtu (7/10) di Jakarta. Sebelumnya, hal senada dikemukakan secara terpisah oleh Ketua Umum Matlaul Anwar, Ki Embay Mulya Sarief dari Kota Serang, Banten, dan Ustadz Ahmad Tohir Moya dari Tamansari Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Lampung.      


Ketiganya dimintai tanggapan berkaitan terdapat indikasi menipisnya gotong royong di kalangan anak bangsa, “Maka sebagai contoh, baru-baru ini muncul partisipasi konkret secara ‘lintas anak bangsa Indonesia’ ketika seorang yang tak punya sanak saudara kandung terserang stroke berat di Jakarta, tentu hal itu sangat mengharukan sekaligus membanggakan,” kata Ki Embay senada dengan Tohir.


Contoh yang ia maksudkan, yaitu Hila, seorang jurnalis berpenghasilan pas-pasan. Baru-baru ini ia terkapar tak berdaya di bilik kosnya sendirian di kampung Peterongan, Depok, Jabar (tepian Jakarta Selatan). Seorang tetangga sangat berjasa telah mengontak teman Hila via telepon genggam. 


Kemudian Hila diangkut dan segera diuruskan kepesertaan BPJS-nya, kemudian   menjalani perawatan di sebuah rumah sakit swasta. Dengan partisipasi banyak pihak dari Kupang, Surabaya, dan seputar Jakarta, sekeluarnya dari rumah sakit ia diambilkan bilik kos di Jakarta Pusat (Jakpus). Terakhir, seorang dermawan mengongkosinya untuk pulang di Mesi, pelosok Manggarai Timur, NTT. 


Kiemudian, sepekan perjalanan dari Jakarta menggunakan kereta menuju Surabaya (Jatim), lanjut menumpang kapal laut. Selama perjalanan (juga di Jakarta), ia diurus  oleh juniornya dan putranya. Hila kini sudah bersama dengan saudara-saudara kandungnya. Dokter memang memang tidak mengizinkannya  menumpang pesawat terbang. 


Peristiwa stroke beratnya dan sumbangan “sudara-saudara baru” Hila itu, menginspirasi rekan-rekan seprofesinya di Jakarta, seperti Pieter Sambut, Purwati, dan Suryadi, untuk berusaha mengkristalkannya sehingga terlembagakan secara nirlaba. “Setidaknya, dapat menjadi jembatan suatui penyelesaian bagi yang tak berpunya,” harap Pemimpin Kabar Banten, Rahmat Ginajar.         


Konkret

Baik Bambang, Ki Embay, dan Tohir sepakat melihat hal tersebut sebagai suatu kegotong-royongan konkret. Oleh karena itu, patut didukung pelembagaannya, hal-hal memerihatinkan dapat tertolong segera. Ki Embay dan Tohir sepakat hal serupa tidak mendadak muncul hanya ketika mendapatkan sesama mengalami sakit berat atau meninggal dunia. 


Kemerdekaan Indonesia, lanjut Bambang, diraih dengan kegotongroyongan pejuang rakyat dengan para pejuang bersenjata. “Itu sebab, kemerdekaan RI dapat kita raih dan pertahankan dengan kekuatan Pancasila,” kata Bambang, putra pahlawan nasional Bung Tomo (Sutomo).  


Di samping hal-hal lain, setidaknya Bambang melihat ada tiga kekuatan yang mampu mengokohkan tetap tegak berdirinya RI sebagai negara Pancasila. Sehinga, Pancasila tak hanya teggelam dalam sekadar menhafal dan upacara-upaca belaka.


Pertama, sebutnya, gotong-royong yang jauh sebelum Indonesia Merdeka, sudah merupakan spiritual yang mengkultur pada bangsa ini, harus menjiwai dan konkret pada praktek perekonomian Indonesia yang ber-Pancasila. Kedua, Pancasila harus menjadi landasan kuat hukum di setiap kali penegakkannya. Sehingga, di negara yang berkomitmen sebagai negara hukum ini, berlaku merata dan berkeadilan.  


Demikian pula, lanjut Bambang, yang ketiga, Pancasila harus terlembagakan dalam sistem pendidikan, sehingga dengan sendirinya terhapus sebutan sekolah unggulan. Sebab pada prakteknya, kini ada sekolah unggulan, berarti sekolah itu lebih unggul ketimbang sekolah yang lain. 


Tentu saja, kata Bambang selanjutnya, dalam kondisi seperti ini yang punya duit saja yang mampu berkejaran memasukkan anaknya ke sekolah unggulan. Padahal, pemerataan merupakan pertanda bahwa adil juga terbuka bagi setiap warga negara dalam menikmati pendidikan yang bagus secara adil.   


“Jika Pancasila tegak dalam penyelenggaraan pendidikan, maka selain menutup kesempatan oknum-oknum ‘main mata’, para orangtua di rumah juga harus menjalankan  pendidikan dalam pengertian pekerti Pancasila,” urai Bambang, 


Tentang kegiatan sosial secara “lintas anak bangsa”, Ki Embay mengatakan, hal tersebut merupakan wujud kegotong-royongan bangsa Indonesia yang beragam suku-bangsa, budaya, dan agama. 


“Kegotong-royongan secara lintas anak bangsa itu, patut dihidupkan terus. Tidak ada agama yang melarang praktek itu,” kata Ki Embay. Ia mengaku pernah mengangkut ke rumah sakit ketika mendapati seseorang pingsan akibat kecelakaan tunggal. Belakangan, setelah sembuh, orang tersebut mendatanginya dan ternyata ia seorang pendeta,


Sementara Tohir melihat penting syiar agama secara konkret langsung pada praktek kehidupan sehari-hari. Misalnya, lanjutnya, berbagi lahan pertanian kepada warga. Demikian pula dengan aktivitas pereknomian lainnya.(Red/Supriyadi).