Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

iklan

Iklan

Indeks Berita

Pengasuh Pondok Pesantren Diduga Melakukan Pelecehan Seksual Terhadap Santrinya

Selasa, 14 Mei 2024 | 17:19 WIB Last Updated 2024-05-14T10:19:37Z

 

Foto ilustrasi : 

Editor : Tri Wahyudi, RealitaNews.co.id_
Selasa, 14 Mei 2024.


Banten - Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Wildan, di Kampung Ciboncah Landeuh RT 004 RW 01, Desa Kaung Caang, Kecamatan Cadasari, Pandeglang, Banten, diduga melakukan pelecehan seksual terhadap santriwati. Para korban dicabuli oleh pengasuh ponpes KH, Zubaedi atau yang lebih akrab disapa H.Odih. 


Tokoh agama yang seharusnya memberikan pembimbingan spiritual keagamaan, namun apa yang diperbuat pengasuh pondok pesantren Miftahul Wildan, sangat jauh dari sosok seorang kyai ataupun guru.


"Kejadiannya sejak tahun 2022 hingga sekarang. Jadi orangtua korban meminta bantuan saya untuk mendampingi pelaporan ke pihak kepolisian, "ujar salah satu warga, yang tidak ingin disebut namanya. 


Ketua LPAI Provinsi Banten H. Adi Abdillah Marta mengatakan, pihak nya akan memberikan pendampingan dan perlindungan khusus bagi korban sesuai isi UU 35 Tahun 2014, tentang perlindungan anak yang melibatkan berbagai unsur pemerintah, "kami juga akan mengusahakan agar korban mendapatkan kompensasi (ganti rugi oleh negara), dalam hal ini proses hukum, "terang Adi Ketua LPAI Banten pada awak media melalui sambungan telepon. 


"Sejak kemarin dan hari ini 14 Mai 2024, pengurus LPAI Banten mendapatkan informasi yang kembali membuat hati teriris bercampur tak menduga, adanya kabar oknum pemuka agama dan pengasuh pondok pesantren melakukan tindakan pelecehan terhadap banyak santriwatinya, sangat di luar nalar, meski secara nasional kejadian ini juga kerap terdengar dan diberitakan, akan tetapi untuk seputar Provinsi Banten, hal ini termasuk sering terjadi, pasalnya laporan yang seringkali kami terima adalah kasus kekerasan fisik di lingkungan lembaga pendidikan yang dilakukan oleh santri senior kepada junior ". 


Lebih lanjut Adi meminta terduga  pelaku yang telah diamankan di Polres Pandeglang ini  dihukum semaksimal mungkin. Untuk memberikan efek jera terhadap pelaku Pelecehan Seksual terhadap anak, dan efek tangkal untuk pelaku kedepan, agar tidak ada lagi predator-predator anak yang dilakukan oknum berkedok agama, "tegasnya. 



"Jika dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati tersebut terbukti, apa yang dilakukan oleh Pelaku tersebut adalah perbuatan yang dilakukan oleh seorang predator kekerasan seksual terhadap anak. Terlebih, lanjutnya,  jika telah dilakukan berulangkali. Aparatur penegak hukum baik Kepolisian atau Kejaksaan harus menerapkan ancaman maksimal sesuai UU bagi si Pelaku. Kemudian Hakim yang menyidangkan kasus ini wajib memberikan putusan yang adil, khusus bagi korban dan masa depannya. Serta tidak ada proses Restorative Justice pada kasus semacam ini.


*Aturan Hukum*

1. Sesuai dengan Pasal 76E Undang undang No. 35 tahun 2014 jo. Pasal 82 Perppu No. 1 tahun 2016 yang mengatur dan menjelaskan bahwa Pelaku dapat dipidana maksimal 15 tahun dan denda paling banyak 5 Milyar Rupiah. Serta ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang diterapkan. Hal ini disebabkan Pelaku adalah orangtua kandung dari si anak.

2. Berdasar aturan diatas, LPAI Banten mendesak kepada Aparat Penegak Hukum agar memastikan bahwa melaksanakan proses ancaman hukuman dapat maksimal bagi si Pelaku, serta penambahan sepertiga dari ancaman hukuman. Kami juga meminta agar ekspose identitas Pelaku agar muncul daya lenting (resiliensi) Masyarakat, sehingga potensi residivisme Pelaku bisa ditekan.


LPAI juga siap memberikan pendampingan secara psikologis kepada korban jika memang dibutuhkan, intinya LPAI sangat mengedepankan Undang Undang Perlindungan Anak. 

1) Kenakan aspek perlindungan khusus bagi korban sesuai isi UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Proses pemberlakuan Perlindungan khusus bagi anak korban melibatkan banyak unsur dari Pemerintah.

2) Korban memperoleh restitusi (ganti rugi dari pelaku). Jika pelaku tidak mampu, restitusi dialihkan menjadi kompensasi (ganti rugi oleh Negara). Pengurusannya mulai dari tingkat penyidikan. Otoritas penegakan hukum perlu membaca PP tentang Restitusi.

3) Seluruh pihak wajib menghindarkan korban dari kondisi trauma sekunder akibat penanganan yang tidak ramah anak dan stigmatisasi apalagi diskriminasi terhadap anak. Jangan lagi memperlakukan korban dengan pertanyaan dan pernyataan yang serampangan sehingga proses rehabilitasi yang dilakukan oleh ahli menjadi tidak berarti.


LPAI Provinsi Banten mengharapkan atensi besar pada pemerintah terkhusus aparatur Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, dengan segenap sumberdaya yang ada, agar berupaya maksimal dalam mengungkap kasus seperti ini, serta menegakan hukum yang berujung pada keberpihakan terhadap korban anak. LPAI provinsi Banten beserta LPAI Kabupaten Kota siap untuk bekerjasama untuk melaksanakan kepentingan terbaik bagi anak di seluruh wilayah Provinsi Banten.


Dan akhirnya kita selaku warga masyarakat yang tentu saja perduli terhadap perlindungan anak, jangan lengah dan abai terhadap kondisi-kondisi seperti kejadian tersebut. Jangan Permisif terhadap pelanggaran hak anak. Kami mengajak kepada segenap masyarakat untuk tetap peduli terhadap kasus ini. Kawal sampai tuntas. Jangan sampai hilang dan menguap karena seiring waktu lalu terlupakan. 



(Red/Icha)